JAKARTA, FOKUSJabar.id: Menumpuknya beras jutaan ton di gudang Bulog dan rusaknya ribuan ton dari beras itu, adalah hal yang memprihatinkan. Berbagai kalangan menyoroti kinerja Bulog dalam menyalurkan beras tersebut.
Di antara yang dinilai menjadi penyebabnya adalah gagalnya manajemen peningkatan kualitas beras dan inovasi yang dilakukan Bulog. Kegagalan dalam dua hal ini diyakini akan menjadi hal berulang pada penumpukan beras di gudang-gudang Bulog di masa depan.
Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasludin menilai, inovasi yang dilakukan oleh Bulog dengan menjual beras dalam kemasan atau sachet tidaklah efektif. Menurut dia, inovasi tersebut dinilai sangat kalah bersaing dengan pasar beras lainnya.
“Sekarang menjual dengan sachet, kalah sama pemain besar. Bulog harusnya jangan main ketengan seperti itu, harusnya bermain skala besar,” kata Andi, Rabu (26/6/2019) melalui rilisnya.
Dia mengamati, salah satu penyebab menumpuknya beras di gudang-gudang karena program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) tidak mewajibkan diambil dari Bulog. Untuk itu, dia mengusulkan, selain ditugaskan untuk menyerap, Bulog bisa diberikan kewenangan untuk menyalurkan.
“Intinya, bagaimana keluarkan dulu itu beras. Misalnya untuk rastra (beras sejahtera), bikin saja aturannya,” kata dia.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono. Dia mengatakan bahwa jutaan beras menumpuk di gudang lantaran Bulog tak dapat menyuplai beras ke BPNT secara maksimal.
Keduanya mengatakan bahwa dewan sebetulnya telah mengingatkan Bulog untuk segera mensinkronisasikan data beras, mulai dari stok di gudang Bulog, produksi hingga kebutuhannya. Namun, manajemen sinkronisasi ini sepertinya belum terlaksana.
“Sehingga, walaupun perlu impor, tetapi terbatas dan bisa dikendalikan sehingga tidak mengganggu harga gabah di petani (harga gabah tidak jatuh, petani tidak dirugikan) dan tidak kelebihan stok di Bulog,” jelas dia.
Sementara itu, Peneliti dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mendorong Bulog untuk berinovasi memperbaiki kualitas stok berasnya. Hal itu penting untuk mencegah penumpukan beras di gudang.
Dengan kualitas baik, kata Galuh, beras diyakini bisa langsung dijual atau disalurkan lewat BPNT. Beras Bulog selama ini kurang diminati oleh para penerima manfaat BPNT. Alhasil, pemilik e-warung lebih mengutamakan untuk menyetok beras dari non-Bulog.
“Penting bagi Bulog untuk meningkatkan daya tarik produknya agar diminati masyarakat, terutama para penerima BPNT,” kata Galuh.
Pihaknya pun berharap Bulog bisa melaksanakan manajemen fungsinya dengan lebih baok, terutama karena Bulog pun masih mengemban tugas publik dari pemerintah, dalam hal pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP).
Galuh menyebut bahwa penggunaan CBP itu penting, diantaranya untuk melakukan operasi pasar demi menstabilkan harga pangan dan cadangan negara jika terjadi keadaan darurat, seperti bencana alam.
Pakar Pertanian IPB, Dwi Andreas tidak yakin operasi pasar atau program ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) oleh Bulog bisa menyelesaikan masalah.
Sebaliknya, kata Dwi, justru bisa menambah masalah baru, yakni menekan harga gabah di tingkat petani.
“Dulu proses in dan out kan sekitar 230ribu ton per bulan sehingga rutin, namun ketika ini berubah, Bulog tidak siap menyalurkan ke outlet lain sehingga beras yang disimpan outnya menumpuk tidak tersalurkan dengan baik,” jelas dia.
Dwi berharap operasi pasar oleh Bulog bisa mengedepankan kehati-hatian. Hal itu seiring rencana Bulog yang akan melakukan operasi pasar sampai Desember mendatang.
“Bulan-bulan sekarang, sampai Agustus jangan jor-joran operasi pasar, kasihan petani karena harga gabah sudah pasti tertekan. Kalau ada operasi pasar 175ribu ton per bulan, itu pasti berdampak ke petani, padahal sudah tiga bulan ini petani merugi karena harga jual di bawah biaya produksi,” ungkap dia.
Lebih lanjut dia mengingatkan, menyerap gabah dari petani dan mengendalikan harga beras di pasar adalah tugas utama Bulog. Tetapi saat ini, kata dia, dua peran itu tidak maksimal dijalankan.
Fungsi perlindungan usaha di petani tidak berjalan karena terkait aturan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) lama yang dinilai tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. HPP saat ini sekitar Rp3700 dan rencananya dinaikkan 10 persen menjadi sekitar Rp4070 per kilogram untuk gabah kering panen.
(LIN)