Kamis 12 Desember 2024

Ini Latar Belakang Lahirnya Dua Kepgub Upah Minimum Khusus Sektor TPT dan Perkebunan

BANDUNG, FOKUSJabar.id : Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jawa Barat, Mochamad Ade Afriandi mengakui jika dari sisi aturan tidak dikenal istilah upah minimum khusus.

Namun keluarnya dua Keputusan Gubernur (Kepgub) Jabar terkait upah minimum khusus perusahaan Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Kabupaten Bogor dan perusahaan Perkebunan Besar Negara dan Swasta di Jabar, memiliki alasan tersendiri.

” Selain karena usulan atau rekomendasi kepala daerah yang bersangkutan, kita melihat jika dua sektor ini menyerap tenaga kerja yang sangat besar mencapai 280 ribu tenaga kerja. Sebanyak 40 ribu tenaga kerja di 34 perusahaan TPT di Kabupaten Bogor serta sekitar 240 ribu tenaga kerja di sekitar 140 perusahaan perkebunan besar negara dan swasta di Jabar,” ujar Ade saat memberikan keterangan pers, Minggu (26/5/2019) malam.

Dua Kepgub tersebut, lanjutnya, sebagai upaya dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar untuk mempertahankan keberlangsungan usaha serta menghindari pemutusan hubungan kerja. Pasalnya, dua bidang usaha yang tercantum dalam kepgub tersebut dalam kondisi kritis.

Untuk 34 perusahaan TPT di Kabupaten Bogor, Ade menuturkan jika dalam satu tahun terakhir masuk dalam klasifikasi not compliance (tidak patuh) karena tidak mampu mengikuti kenaikan UMK Kabupaten Bogor yang naik tajam setiap tahunnya. Nilai kenaikan UMK Kabupaten Bogor tersebut, tidak sebanding dengan nilai kontrak yang diperoleh 34 perusahaan TPT tersebut dari para buyers atau pemilik brand/merk.

” Seperti diketahui, sektor garment atau TPT yang merupakan sektor padat karya,mayoritas beroperasi dengan sistem sub kontrak. Artinya, perusahaan menerima order dari berbagai perusahaan pemilik brand atau buyers,” tambahnya.

Sebanyak 34 perusahaan TPT di kabupaten Bogor, lanjut Ade, hampir semuanya mendapatkan order dari brand ternama untuk ekspor ke Eropa dan Amerika. Dengan demikian, para buyer sehingga memiliki aturan yang ketat dalam memantau tingkat kepatuhan perusahaan tersebut terhadap aturan, salah satunya penerapan UMK. Jika dalam dua tahun berturut-turut perusahaan yang bersangkutan tidak patuh dan masuk klasifikasi not compliance, maka buyers pun akan mencabut order mereka.

” Kalau perusahaan tersebut tidak mendapatkan order, sudah dipastikan akan pailit atau bangkrut dan menimbulkan PHK dari 40 ribu pekerjanya. Ini akan menjadi beban bagi Pemprov Jabar, karena di satu sisi harus mengurangi pengangguran tapi kenyataan di lapangan justru puluhan ribu pengangguran baru di depan mata. Karena itu kita ambil langkah ini, Tidak hanya menyelamatkan perusahaannya tapi juga menyelamatkan tenaga kerja untuk tidak di PHK,” tegasnya.

Hal yang sama terjadi di perusahaan Perkebunan Besar Negara dan Swasta di Jabar seiring dengan jatuhnya harga-harga komoditas perkebunan di dunia. Seperti harga karet, teh, sawit dan lainnya.

Akibat turunnya harga komoditas perkebunan. membuat perusahaan di sektor perkebunan ini memiliki ketidakmampuan dalam membayar gaji pekerjanya sesuai dengan UMK yang sudah ditetapkan. Apalagi perusahaan perkebunan sendiri, memiliki kebun yang tersebar di berbagai kota dan kabupaten sehingga penetapan UMK-nya pun beragam.

” Ini kan menjadi kesulitan tersendiri dalam menentukan UMK pekerja perkebunan meski kantor pusatnya berada di kota besar. Apalagi pekerja atau buruh perkebunan ini sebagian besar merupakan warga pedesaan setempat dan memiliki jumlah sangat banyak mencapai 240 ribu dari 140 perusahaan perkebunan di jabar. Karena itu, kepgub ini dikeluarkan untuk menyelamatkan krisis di sektor TPT dan perkebunan sekaligus diharapkan bisa menyelamatkan sekitar 280 ribu pekerja,” pungkasnya.

(ageng/bam’s)

Berita Terbaru

spot_img