BANDUNG, FOKUSJabar.id: Pemiluhan umum (pemilu) 2019 banyak dinodai dengan pola kampaye yang tidak mendidik, belakangan ini bnyak kata-kata yang sangat tidak pantas yang digunakan untuk kampaye.
Dengan demikian pola kampaye saat ini sangat mementingkan kekuasaan bukan kepentingan nasib masyarakat.
“Kampanye-kampanye nyinyir, seperti “tempe” , “genderewo”, “cebong”, “kampret”, “sontoloyo”, kemudian “buta-tuli”. Ini kampanye model apa? Sama sekali tidak mencerdaskan masyarakat,” ungkap pemerhati pemilu yang juga Direktur Democracy Electoral Empowerman Partnership Yuspitriadi, di Bandung, Rabu (5/12).
Dengan demikian kata Yuspitriadi, peserta pemilu dan para pendukungnya diminta melakukan introspeksi terhadap setiap ungkapan yang dilontarkan serta tidak lagi mengeluarkan ungkapan-ungkapan nyinyir, agar masyarakat lebih cerdas dalam memilih calon pemimpinnya demi Indonesia yang lebih baik.
“Di sisa waktu yang tinggal sekitar tiga bulan, seluruh peserta Pemilu 2019 harus lebih mengedepankan edukasi, bukan obsesi politik dengan menyampaikan gagasan-gagasan kampanye yang edukatif untuk membangun Indonesia yang lebih baik,” kata dia.
Yuspitriadi pun menilai, Pemilu 2019 masih akan diwarnai berbagai kecurangan. Meski proses demokrasi di Indonesia tak pernah berakhir kacau, namun sejarah mencatat, berbagai kejahatan pemilu, seperti manipulasi data pemilih, politik uang (money politics), hingga kampanye hitam (black campaign) selalu saja terjadi.
“Saya bukan dalam kerangka pesimistis terhadap penyelenggara pemilu, tapi saya pesimistis terhadap hilangnya permasalahan-permasalahan dan kejahatan-kejahatan pemilu yang sedang berlangsung,” ujarnya.
(AS/DAR)