BANDUNG, FOKUSJabar.id : Erwin Kustyawati kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Federasi Hoki Indonesia (FHI) Jawa Barat untuk masa bakti 2018-2022 pada gelaran Musyawarah Olahraga Provinsi Luar Biasa (Musorprovlub) FHI Jabar, Kamis (15/2/2018).
“Kita dianggap tidak loyal sehingga PP FHI memberikan sanksi organisasi dan diminta menggelar musorprovlub. Dan pada musorprovlub tersebut, saya kembali dipercaya untuk memimpih Pengprov FHI Jabar hingga 2022 setelah 14 dari total 18 pengcab FHI Kota/Kabupaten di Jabar secara aklamasi memilih saya kembali. Saya akan jaga amanat ini dan membuktikan jika organisasi FHI di Jabar ini sangat solid,” ujar Erwin saat memberikan keterangan pers di ruang Kominfo KONI Jabar, Jalan Pajajaran Kota Bandung, Minggu (18/2/2018).
Erwin mengaku, pihaknya pun akan mempertanyakan sanksi yang diberikan PP FHI kepada Pengprov FHI Jabar termasuk kepada dirinya. Dalam surat sanksi yang disampaikan PP FHI melalui aplikasi WhatsApp messenger, disebutkan jika dirinya tidak loyal terhadap PP FHI.
Setidaknya ada dua alasan yang digunakan PP FHI menganggap dirinya dan kepengurusan FHI jabar tidak loyal. Pertama, karena tidak mau menandatangani Pakta Integritas yang disodorkan PP FHI dan mengizinkan atlet Jabar mengikuti kejuaraan di luar negeri yakni pada kejuaraan Asian Women di Thailand dalam rangka persiapan Asian Games 2018.
“Semua yang dituduhkan PP kepada saya dan kepengurusan FHI Jabar, itu saya sanggah. Saya sangat loyal, tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan PP FHI,” tambahnya.
Alasan dirinya tidak menandatangani Pakta Integritas yang disodorkan PP FHI, karena menilai tidak sesuai aturan. Pakta integritas sendiri dibuat sepihak oleh PP FHI tanpa melalui rapat bersama semua Pengprov FHI di Indonesia. Selain itu dirinya sudah merasa tertekan dan terpaksa jika menandatangani pakta integritas sehingga tidak sesuai dengan kalimat terakhir pada pakta integritas yang menyebutkan jika tanda tangan yang dibubuhkan tanda ada paksaan dan tekanan.
“Membuat pakta integritas itu harus ada rapat bersama dimana klausul pun harus menguntungkan kedua belah pihak. Tidak bisa satu arah, harus dibahas bersama. Bukan dikirim ke pengprov dan langsung minta ditanda tangani. Ini membuat saya merasa tertekan, dan tidak diberi ruang untuk berargumen,” tuturnya.
Sementara terkait pengiriman atlet ke ajang kejuaraan Asian Women di Thailand, dirinya menyebut jika hal tersebut diluar kemampuannya. Pasalnya, atlet secara pribadi dihubungi langsung oleh pihak PHSI (Persatuan Hoki Seluruh Indonesia) untuk bisa berlaga di kejuaraan tersebut.
“Saya tak pernah mengizinkan atlet, toh saya belum pernah terima surat pemberitahuan dari PHSI. Mereka berangkat ke Thailand itu secara pribadi dan dihubungi secara pribadi oleh pihak PHSI. Kita mempertanyakan sanksi yang diberikan ini, padahal secara aturan PP FHI sendiri sudah melanggar dengan tidak pernah ada rakernas FHI dan AD/ART yang belum disahkan. Kita melihat ini ada upaya pelemahan organisasi di Jabar untuk mengganggu persiapan kita menghadapi PON XX tahun 2020 di Papua. Kalau memang saya ada salah secara organisasi, kenapa saya tiudak dipanggil ke Jakarta untuk menjelaskan kronologisnya,” pungkasnya.
Seperti diketahui, kepengurusan hoki di tingkat nasional pun mengalami dualisme yakni antara FHI dan PHSI. FHI sendiri saat ini menjadi organisasi hoki yang diakui oleh KONI Pusat untuk menggelar pembinaan olahraga hoki di Indonesia. Namun di sisi lain, PHSI menjadi organisasi yang diakui di internasional sebagai satu-satunya organisasi hoki di Indonesia.
Dengan kondisi, FHI sendiri hanya bisa melakukan kejuaraan dan pembinaan atlet hoki di dalam negeri saja seperti PON, hingga Porda. Namun untuk mengirimkan atlet mengikuti kejuaraan tingkat internasional mulai dari SEA Games, Asian Games hingga Olimpiade, harus menggunakan nama PHSI.
(ageng/dar)