BANDUNG, FOKUSJabar.id : Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk kali ketiga mendapat nilai A pada Laporan Hasil Evaluasi Akuntabilitas Kinerja Pemerintah Daerah (LAKIP) di Wilayah I.
Namun dibalik prestasinya itu, pajak reklame di Kota Bandung tidam terealisasi dan meleset jauh dari target.
Pendapatan pajak Kota Bandung secara umum sebenarnya mengalami kenaikan. Sampai dengan 31 Desember 2017, realisasi pajak daerah Kota Bandung sebesar Rp2,175 trilyun atau meningkat dibanding 2016 yang hanya Rp1. 72 trilyun.
Namun dari sekitar sembilan sektor penerimaan pajak daerah di Kota Bandung pada tahun 2016, lima sektor di antaranya melampaui target.
Lima sektor itu, seperti dari pajak restoran sebesar Rp278,73 milyar dari target Rp267,5 milyar, lalu pajak hiburan sebesar Rp85,094 milyar (target Rp85 milyar), pajak parkir sebesar Rp40,7 milyar (target Rp37,5 milyar), pajak penerangan jalan (PPJ) sebesar Rp193 milyar (target 185 milyar), dan pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp695,7 milyar (target Rp672,5 milyar)
Sedangkan empat sektor pajak lainnya, seperti pajak hotel, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak reklame, dan Pajak Air dan Tanah (PAT) tidak mampu mencapai target.
Pajak hotel hanya menyerap Rp295,3 milyar dari target Rp300 milyar, PBB sebesar Rp542,7 milyar dari target Rp578,5 milyar, PAT sebesar Rp30,5 milyar dari target Rp33,5 milya, dan pajak reklame sebesar Rp12,8 milyar dari target Rp240,5 milyar.
Bahkan untuk pajak reklame mengalami penurunan dari pencapaian tahun sebelumnya yang menyerap Rp25,6 milyar.
“Jika realisasi pajak reklame itu meleset jauh dari target, maka ini ada hubungannya dengan kinerja Pemkot Bandung. Ini salah satu ukuran jika bicara pencapaian target. Kalau soal penilaian LAKIP itu kan bisa saja dibandingkan dengan daerah lain atau ada ukuran-ukuran tertentu,” kata Pengamat Politik dari Unpad, Firman Manan melalui sambungan telepon, Jumat (26/1/2018).
Firman mengatakan, bahwa beberapa kemungkinan terjadi atas tidak tercapainya target beberapa sektor pajak, tertutama reklame.
” Bisa saja perencanaan yang tidak matang, misalnya penetapan target terlalu tinggi atau bisa juga tidak sesuai kondisi obyek di lapangan, implementasi yang tidak optimal pun bisa memengaruhi,” kata dia.
Seperti tidak tersedianya sumber daya, infrastruktur, sarana prasarana yang memadai atau tidak optimalnya kinerja aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka.
“Tetapi kalau misalnya ditemukan penyimpangan-penyimpangan, seperti praktik suap dalam pembayaran pajak reklame oleh wajib pajak, atau penyelewengan uang hasil pajak yang tidak masuk ke dalam kas daerah, itu bisa saja terindikasi pada tindak pidana korupsi,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Pemkot Bandung untuk kali ketiga mendapat nilai A pada LAKIP di Wilayah I yang terdiri dari 172 kota/kabupaten di Pulau Sumatera, Provinsi Banten, dan Jawa Barat.
Penghargaan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) ini menunjukkan peningkatan akuntabilitas kinerja Pemkot Bandung yang berarti ada keselarasan antara perencanaan dan pelaksanaan kegiatan.
(Ageng/LIN)