DEPOK, FOKUSJabar. com: Pembelajaran formal di jenjang perguruan tinggi dinilai sebagai tipe pembelajaran yang kaku. Pengajar dan mahasiswa memiliki batasan dalam menyampaikan ilmu, pendapat dan lainnya.
Padahal tidak semua mahasiswa akan nyaman dengan metode pembelajaran seperti itu, dan tidak semua pengajar (dosen) pula yang selalu ingin menyampaikan yang dia tahu.
Terlebih ilmu pengetahuan terus berkembang, bahkan setiap saat selalu ada pembaharuan.
Salah seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Indra Jaya mengatakan, saat ini cara pembelajaran di setiap perguruan tinggi berbeda-beda.
Setiap pengajar pun memiliki cara penyampaian materi tersendiri. Apalagi saat ini Riset Dikti memberika program pembelajaran denga sistem ‘Student Learning Center'(SCL) yang harus diterapkan di setiap universitas di Indonesia.
“Saya menerapkan pembelajaran dua arah pada mata kuliah saya. Saya pun ingin belajar dari mahasiswa saya. Salah satunya melalui kasus yang saya berikan untuk mereka diskusikan lalu dipresentasikan,” kata Indra.
Sementara itu, mahasiswa jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma Billy Surya mengatakan bahwa pembelajaran formal yang efektif adalah menjadikan pengajar sebagai pacuan utama untuk mendapatkan ilmu.
“Pengajar itu lebih memiliki ilmu dibandingkan mahasiswa, namun pengajar juga bisa membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk menyampaikan pendapat,” kata Billy.
Berbeda Billy, Elfrida Natania Agnesia Mahasiswa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan UNJ justru menyebut bahwa pembelajar formal yang efektif adalah saat mahasiswa berperan aktif dibandingkan pengajarnya.
” Pengajar tetap mendampingi kami, memberikan landasan materi, namun memberikan ruang berbicara bagi mahasiswa untuk aktif berpendapat dan menyampaikan hal-hal baru yang didapat,” jelas Elfrida.
Perbedaan metode itu selalu ada, terlebih setiap pengajar dan mahasiswa pasti berusaha mendapatkan iomu yang terbaik dari berbagai pembelajaran.
Dosen di Poltek Negeri Jakarta Susilawati Thabrany berpendapat bahwa sistem pengajaran dengan konsep SCL menempatkan pengajar bukan segala-galanya.
Melalui sistem tersebut, kata Susilawati, dia menempatkan dirinya belajar saat mengajar.
Dengan kata lain, dirinya membuka kesempatan bagi mahasiswa untuk terbuka kepada pengajar, bahkan mengkritik.
“Melalui metode SCL pun saya memberikan mahasiswa praktik dan dikemukakan di kelas dalam bentuk presentasi. Dengan begitu, mahasiswa akan mempunyai keberanian berbicara,” jelas dia.
Dia optimistis bahwa dengan cara tersebut pembelajaran akan semakin dinamis antara pengajar dan mahasiswa.
Untuk diketahui, pembelajaran adalah sesuatu yang harus diterapkan pada setiap individu.
Baik itu pembelajaran. Elalui jalur pendidikan berjenjang (Formal), maupun pembelajara yang didapat dari struktur organisasi, lingkungan dan lainnya (Informal).
(Mahasiswa Poltek Negeri Jakarta Juniwati Theresia/LIN)